Minggu, 04 November 2012

“Emansipasi berarti persamaan gender ” apa iya?


“Wanita laksana tiangnya negara/ Tanpa tiang coba Anda bayangkan/ Kalau semua maju ke garis depan/ Tentunya lemah di garis belakang/ Kalau wanita juga sibuk bekerja/ Rumah tangga kehilangan ratunya/ Kalau wanita juga sibuk bekerja/ Anak-anak kehilangan pembina/ Bukan salah remaja kalau mereka binal/ Bukan salah mereka kalau tidak bermoral/ Bukan hanya makanan, bukan hanya pakaian/ Yang lebih dibutuhkan cinta dan kasih sayang”, ini merupakan lirik salah satu lagu bang Haji Roma Irama yang menjadi soundtrack film Pengabdian yang bertemakan emansipasi.
Apa itu emansipasi?
            Mungkin banyak dari kalangan kita yang tidak terlalu faham akan arti sebuah kata “Emansipasi”. Zaman sekarang emansipasi banyak diartikan sebagai penyamaan gender antara laki-laki dan perempuan, kata orang zaman sekarang emansipasi memudahkan seorang perempuan untuk seenaknya saja berprilaku selayaknya seorang laki-laki.

            Kembali ke zaman dahulu ketika masih berada dalam zaman penjajahan, ada banyak tokoh wanita yang ikut membrantas penjajah. Tokoh-tokoh itu antara lain adalah Cut Nyak Dien, Cut Meutia, R.A Kartini, dan sebagainya.mereka merupakan tonggak adanya pembuktian emansipasi yang ada di Indonesia. Sejarah paling besar yang kita tahusebagai seorang warga negara Indonesia adalah sejarah emansipasi yang dicetuskan oleh R.A Kartini. R.A Kartini merupakan tokoh pejuang wanita yang sangat mempertahankan kesamaan hak seorang perempuan dengan seorang laki-laki sebagai manusia serta sebagai warga negara. Salah satu buku yang beliau tulis yang berjudul Door Duisternis tot Licht alias Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan salah satu pilar adanya emansipasi wanita. Tetapi bagaimanakah emansipasi wanita yang diamaksudkan oleh beliau itu merupakan sesatu yang perlu dikaji suapaya kita tidak salah mengartikannya.
Salah besar jika menganggap R.A Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti dalam paradigma barat. beliau bahkan menyerang peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?“.
Kartini adalah seorang priyayi Jawa yang ingin memberontak terhadap kultur keraton Jawa yang menganggap perempuan hanya pantas untuk di tiga tempat: Dapur, Sumur, dan Kasur. Jiwanya menyala-nyala ingin mendalami Islam dan menjadi salah satu pejuangnya. Kecintaannya kepada Islam membuatnya rela menjadi isteri kedua. Mungkin itulah yang sebenarnya ditekankan, bukan merupakan kesejajaran kaum wanita terhadap laki-laki, tetapi lebih terhadap hak seorang perempuan yang tidak hanya berada di dalam rumah. Toh dalam agama islam semua umat manusia itu sama derajatnya, yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya.
Emansipasi yang salah kaprah seperti sekarang memang merupakan racun yang disusupkan ke dalam otak kita semua. Dan kalau mau jujur, sebenarnya bangsa barat sendiri juga tidak melaksanakan emansipasi seperti yang digembar-gemborkannya selama ini. Salah satu contoh mudah, negara Amerika Serikat yang sudah berusia 233 tahun presidennya selalu saja kaum pria. Belum ada perempuan Amerika yang dianggap pantas untuk menjadi presiden. Ini bukti yang tidak terbantahkan.
            Dalam kenyataannya seorang wanita pasti ingin mengarungi kehidupan luar, tidak hanya berada dalam buai rumah tangga, tetapi juga mengarungi dunia yang lebih luas daripada itu. Hak yang paling harus diperjuangkan oleh perempuan adalah hak untuk menuntut ilmu, bukankah menuntut ilmu itu merupakan sebuah kewajiban baik untuk kaum laki-laki maupun kaum perempuan.
            Tidak dipungkiri sebagian dari kaum perempuan pasti juga ada yang  ingin sepenuhnya mengalami apa yang dilakukan oleh laki-laki, tapi tidak semua hal pantas untuk dilakukan oleh kaum perempuan,  kenyataannya kaum perempuan tidak bisa setangguh laki-laki. Jadi kembali ke kita sendiri untuk lebih pandai mengartikan kata emansipasi, bukan sebagai penghalalan wanita yang menjadi seorang leader atau semacamnya tetapi sebagai jembatan pengakuan adanya hak-hak perempuan yang harus diakui.
Bagaimana emansipasi dalam pemerintahan?
            Semua unsur di dunia ini merupakan sebuah sistem yang saling melengkapi, ada baik ada jahat, ada siang ada malam, ada air ada api, begitu pula ada laki–laki pasti ada perempuan. Kedua unsur yang perlu saling melengkapi adalah laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang hakikatnya lebih dominan terhadap masalah logika pasti akan membutuhkan perempuan yang cenderung lebih berperasaan, begitu pula dalam masalah pemerintahan. Tidak disalahkan ketika seorang permpuan yang hitthohnya berada di rumah, menjaga anak, memasak dan lain sebagainya menjabat sebagai aparat pemerintahan entah itu di Indonesia ataupun di negara lain. Hal ini karena wanita merupakan pelengkap laki-laki, entah dari masalah yang paling sederhana sampai masalah yang paling kompleks. Masalah pemerintahanpun pasti akan membutuhkan seorang hawa yang pasti akan banyak membantu dalam penyelesaian masalah. Ada titik-titik dimana yang dibutuhkan adalah seorang perempuan dan ada pula yang tidak, tinggal porsinya saja yang mungkin akan lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
            Berbagai masalah yang timbul terkait masalah emansipasi ini merupakan sebuah topik yang memang harus kita kaji lebih dalam, mengenai filsafat seorang wanita itu serta mengenai apa fungsinya dari seorang wanita itu sendiri. Dalam berbagai masalah yang konkrit kita hadapi, wanita memang mampu bersaing dalam berbagai hal dengan laki-laki, entah itu dalam bidang pendidikan maupun bidang yang lainnya. Namun harus kita ingat bahwa hakekatnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, pasti dia akan memiliki ‘komponen kehidupan’ yang lebih sedikit dibandingkan seorang laki-laki. Namun bagaimana dia mengasah dan mengolahnya itu hanya tergantung dengan pilihan dia sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar