“Wanita laksana tiangnya
negara/ Tanpa tiang coba Anda bayangkan/ Kalau semua maju ke garis depan/
Tentunya lemah di garis belakang/ Kalau wanita juga sibuk bekerja/ Rumah tangga
kehilangan ratunya/ Kalau wanita juga sibuk bekerja/ Anak-anak kehilangan
pembina/ Bukan salah remaja kalau mereka binal/ Bukan salah mereka kalau tidak
bermoral/ Bukan hanya makanan, bukan hanya pakaian/ Yang lebih dibutuhkan cinta
dan kasih sayang”, ini merupakan lirik salah satu lagu bang Haji Roma
Irama yang menjadi soundtrack film Pengabdian yang bertemakan
emansipasi.
Apa itu
emansipasi?
Mungkin
banyak dari kalangan kita yang tidak terlalu faham akan arti sebuah kata “Emansipasi”.
Zaman sekarang emansipasi banyak diartikan sebagai penyamaan gender antara laki-laki
dan perempuan, kata orang zaman sekarang emansipasi memudahkan seorang
perempuan untuk seenaknya saja berprilaku selayaknya seorang laki-laki.
Kembali
ke zaman dahulu ketika masih berada dalam zaman penjajahan, ada banyak tokoh
wanita yang ikut membrantas penjajah. Tokoh-tokoh itu antara lain adalah Cut
Nyak Dien, Cut Meutia, R.A Kartini, dan sebagainya.mereka merupakan tonggak
adanya pembuktian emansipasi yang ada di Indonesia. Sejarah paling besar yang
kita tahusebagai seorang warga negara Indonesia adalah sejarah emansipasi yang
dicetuskan oleh R.A Kartini. R.A Kartini merupakan tokoh pejuang wanita yang sangat
mempertahankan kesamaan hak seorang perempuan dengan seorang laki-laki sebagai
manusia serta sebagai warga negara. Salah satu buku yang beliau tulis yang
berjudul Door Duisternis tot Licht alias Habis Gelap Terbitlah Terang
merupakan salah satu pilar adanya emansipasi wanita. Tetapi bagaimanakah
emansipasi wanita yang diamaksudkan oleh beliau itu merupakan sesatu yang perlu
dikaji suapaya kita tidak salah mengartikannya.
Salah besar jika menganggap
R.A Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti
dalam paradigma barat. beliau bahkan menyerang peradaban barat. Hal ini
tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902: “Sudah
lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar
satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu
sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa
dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?“.
Kartini adalah seorang priyayi
Jawa yang ingin memberontak terhadap kultur keraton Jawa yang menganggap
perempuan hanya pantas untuk di tiga tempat: Dapur, Sumur, dan Kasur. Jiwanya
menyala-nyala ingin mendalami Islam dan menjadi salah satu pejuangnya.
Kecintaannya kepada Islam membuatnya rela menjadi isteri kedua. Mungkin itulah
yang sebenarnya ditekankan, bukan merupakan kesejajaran kaum wanita terhadap
laki-laki, tetapi lebih terhadap hak seorang perempuan yang tidak hanya berada
di dalam rumah. Toh dalam agama islam semua umat manusia itu sama derajatnya,
yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya.
Emansipasi yang salah kaprah
seperti sekarang memang merupakan racun yang disusupkan ke dalam otak kita
semua. Dan kalau mau jujur, sebenarnya bangsa barat sendiri juga tidak
melaksanakan emansipasi seperti yang digembar-gemborkannya selama ini. Salah
satu contoh mudah, negara Amerika Serikat yang sudah berusia 233 tahun
presidennya selalu saja kaum pria. Belum ada perempuan Amerika yang dianggap
pantas untuk menjadi presiden. Ini bukti yang tidak terbantahkan.
Dalam
kenyataannya seorang wanita pasti ingin mengarungi kehidupan luar, tidak hanya
berada dalam buai rumah tangga, tetapi juga mengarungi dunia yang lebih luas
daripada itu. Hak yang paling harus diperjuangkan oleh perempuan adalah hak
untuk menuntut ilmu, bukankah menuntut ilmu itu merupakan sebuah kewajiban baik
untuk kaum laki-laki maupun kaum perempuan.
Tidak dipungkiri sebagian dari kaum perempuan pasti juga
ada yang ingin sepenuhnya mengalami apa
yang dilakukan oleh laki-laki, tapi tidak semua hal pantas untuk dilakukan oleh
kaum perempuan, kenyataannya kaum
perempuan tidak bisa setangguh laki-laki. Jadi kembali ke kita sendiri untuk
lebih pandai mengartikan kata emansipasi, bukan sebagai penghalalan wanita yang
menjadi seorang leader atau
semacamnya tetapi sebagai jembatan pengakuan adanya hak-hak perempuan yang
harus diakui.
Bagaimana
emansipasi dalam pemerintahan?
Semua unsur di dunia ini merupakan sebuah sistem yang
saling melengkapi, ada baik ada jahat, ada siang ada malam, ada air ada api,
begitu pula ada laki–laki pasti ada perempuan. Kedua unsur yang perlu saling
melengkapi adalah laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang hakikatnya lebih
dominan terhadap masalah logika pasti akan membutuhkan perempuan yang cenderung
lebih berperasaan, begitu pula dalam masalah pemerintahan. Tidak disalahkan
ketika seorang permpuan yang hitthohnya berada di rumah, menjaga anak, memasak
dan lain sebagainya menjabat sebagai aparat pemerintahan entah itu di Indonesia
ataupun di negara lain. Hal ini karena wanita merupakan pelengkap laki-laki,
entah dari masalah yang paling sederhana sampai masalah yang paling kompleks.
Masalah pemerintahanpun pasti akan membutuhkan seorang hawa yang pasti akan
banyak membantu dalam penyelesaian masalah. Ada titik-titik dimana yang
dibutuhkan adalah seorang perempuan dan ada pula yang tidak, tinggal porsinya
saja yang mungkin akan lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Berbagai masalah yang timbul terkait masalah emansipasi
ini merupakan sebuah topik yang memang harus kita kaji lebih dalam, mengenai filsafat
seorang wanita itu serta mengenai apa fungsinya dari seorang wanita itu sendiri.
Dalam berbagai masalah yang konkrit kita hadapi, wanita memang mampu bersaing
dalam berbagai hal dengan laki-laki, entah itu dalam bidang pendidikan maupun
bidang yang lainnya. Namun harus kita ingat bahwa hakekatnya wanita itu
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, pasti dia akan memiliki ‘komponen
kehidupan’ yang lebih sedikit dibandingkan seorang laki-laki. Namun bagaimana
dia mengasah dan mengolahnya itu hanya tergantung dengan pilihan dia sendiri.